Warta1.id — Di balik megahnya gedung kaca Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), suara Indonesia kembali menggema. Kali ini bukan melalui diplomat resmi, melainkan melalui seorang aktivis hak asasi manusia dan tokoh pers nasional, Wilson Lalengke, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI).
Wilson dijadwalkan menjadi salah satu pembicara dalam sidang Komite Keempat PBB (Special Political and Decolonization Committee), forum penting yang membahas isu-isu dekolonisasi, perdamaian, dan hak asasi manusia di wilayah konflik, termasuk kawasan Sahara Maroko.
Pria kelahiran Sulawesi ini bukanlah nama asing di dunia aktivisme dan jurnalisme. Perjalanan panjangnya dimulai dari bangku kuliah di Universitas Riau, tempat ia menempuh studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Sejak masa mahasiswa, Wilson dikenal aktif menulis, berdiskusi, serta mendampingi kelompok masyarakat rentan dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Nilai-nilai Pancasila, gotong royong, dan demokrasi yang ia pelajari di kampus menjadi dasar langkah perjuangannya hingga kini. Dari ruang kelas di Pekanbaru, langkah itu membawanya menuju ruang sidang PBB di New York, menandai babak baru peran warga sipil Indonesia di panggung diplomasi dunia.
Dalam pidato berdurasi tiga menit yang telah dijadwalkan panitia, Wilson akan menyoroti dugaan pelanggaran HAM dan eksekusi di luar hukum terhadap warga Sahrawi di kamp pengungsian Tinduf, yang diduga dilakukan oleh kelompok separatis Front Polisario.
“PBB adalah ruang global untuk menyuarakan keadilan. Isu Sahara Maroko bukan sekadar konflik politik, melainkan persoalan kemanusiaan yang menyangkut hak dasar setiap manusia,” ujar Wilson menjelang keberangkatannya ke New York.
Kehadiran Wilson di forum resmi PBB ini menegaskan bahwa diplomasi tidak hanya milik pemerintah, tetapi juga dapat dijalankan oleh masyarakat sipil yang berkomitmen terhadap perdamaian dan keadilan global.
Partisipasi tokoh independen seperti Wilson menunjukkan bahwa suara masyarakat Asia, khususnya Indonesia, semakin diperhitungkan dalam percakapan internasional. Momentum ini sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai bangsa yang menolak segala bentuk penjajahan dan menjunjung tinggi perdamaian dunia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Kisah Wilson Lalengke adalah cerminan nyata bahwa perjuangan untuk kemanusiaan tidak mengenal batas negara. Dari ruang diskusi mahasiswa di Riau hingga podium PBB di New York, langkahnya menunjukkan bahwa satu suara yang jujur dan berani dapat menggema hingga ke seluruh dunia.
Di tengah dinamika diplomasi global, Wilson membawa pesan kuat bahwa perdamaian bukan hanya urusan negara, melainkan panggilan nurani manusia. Dunia, katanya, membutuhkan lebih banyak suara jernih yang berani berdiri untuk kebenaran sebab tanpa itu, diplomasi hanyalah kata-kata tanpa jiwa.