Warta1.id — Rencana pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kembali menjadi sorotan publik. Sinyal dimulainya pembahasan dalam waktu dekat justru direspons dengan gelombang penolakan luas, baik dari masyarakat sipil maupun warganet di media sosial.
Di platform X (sebelumnya Twitter), tagar #TolakRUUPolri menjadi trending topik, berdampingan dengan tagar lain seperti #CabutUUTNI, #BatalkanRUUTNI, dan #SupremasiSipil. Salah satu unggahan dari akun @Shaa_Anjy pada Jumat (4/4/2025) viral, dengan lebih dari 1.400 retweet, 1.600 like, dan ditonton 16.000 kali hanya dalam lima jam. Unggahan tersebut dibanjiri komentar bernada serupa, seperti “kawal sampai menang”, “Indonesia gelap”, hingga “peringatan darurat”.
Penolakan terhadap RUU Polri sebenarnya bukan hal baru. Sejak RUU ini ditetapkan sebagai inisiatif DPR pada 29 Mei 2024, gelombang protes sudah mulai muncul. Presiden Joko Widodo bahkan sempat mengirim surat penunjukan wakil pemerintah untuk membahasnya pada 8 Juli 2024. Namun, hingga akhir masa jabatan Jokowi dan DPR periode 2019–2024, pembahasan belum juga rampung dan diserahkan ke pemerintahan selanjutnya.
Presiden Prabowo Subianto, melalui surat presiden tertanggal 13 Februari 2025, kembali menunjuk tiga menteri untuk membahas RUU Polri: Menteri Hukum, Menteri Keuangan, dan Menteri Sekretaris Negara.
Namun, upaya ini kembali disambut penolakan. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menyuarakan kembali kekhawatiran bahwa RUU ini mengandung pasal-pasal bermasalah, khususnya yang memperluas kewenangan Polri tanpa pengawasan yang memadai. Salah satu pasal yang dipermasalahkan ialah pemberian kewenangan kepada Polri untuk mengatur dan mengawasi ruang siber, termasuk melakukan penyadapan, serta pembinaan terhadap Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa.
“Ini menjadikan Polri sebagai lembaga superbody, sementara masalah mendasarnya justru tak disentuh: lemahnya pengawasan publik,” kata Dimas Bagus Arya, Koordinator Badan Pekerja Kontras, dalam surat terbukanya kepada Komisi III DPR (3/3/2025).
Sejumlah data menunjukkan keprihatinan tersebut beralasan. Komnas HAM mencatat Polri sebagai institusi yang paling banyak diadukan dalam kasus pelanggaran HAM sepanjang 2023, dengan 771 dari 2.753 total aduan. Kemitraan mencatat 4.438 korban dalam kasus ancaman terhadap pembela HAM oleh kepolisian sepanjang 2014–2023.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga melaporkan bahwa 67 orang meninggal dunia sepanjang 2019, diduga kuat akibat pembunuhan di luar hukum oleh aparat kepolisian.
Ketua BPN PBHI Julius Ibrani menilai revisi UU Polri tak bisa dilihat secara terpisah dari revisi UU TNI dan UU Kejaksaan. “Ini adalah paket omnibus sektor keamanan yang semuanya memperluas kewenangan aparat, hanya saja diluncurkan secara parsial untuk memecah konsentrasi publik,” ujarnya, Jumat (4/4/2025).
Ia menekankan pentingnya partisipasi publik dalam pembahasan, serta perlunya ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan secara terbuka. “Kalau partisipasi itu diabaikan, maka bukan tak mungkin publik akan kembali menolak seperti yang terjadi pada UU TNI dan Kejaksaan,” tambahnya.
Sementara itu, DPR menyatakan belum mengambil keputusan final. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut keputusan akan diambil dalam masa sidang III DPR, yang dimulai pada 17 April 2025. “Ada beberapa kebijakan atau formulasi baru terkait pembahasan UU di DPR yang akan kami koordinasikan lebih lanjut dengan ketua-ketua fraksi,” kata Dasco (2/4/2025).
Dengan tekanan publik yang terus meningkat, pertanyaannya kini mengerucut: akankah suara masyarakat benar-benar didengar, ataukah pembahasan RUU Polri tetap bergulir sesuai agenda? Waktu akan menjawab. Namun, satu hal sudah jelas masyarakat sipil tidak tinggal diam.