Warta1.id – Solar subsidi adalah hak rakyat kecil nelayan, petani, dan pelaku usaha mikro yang keberlangsungan hidupnya bergantung pada kebijakan energi pemerintah. Namun, praktik penyelewengan terus berulang, memperlihatkan betapa lemahnya pengawasan dan betapa beraninya mafia energi bermain di ruang yang seharusnya dijaga untuk kepentingan publik.
Modus yang Terorganisir
1. Kendaraan Modifikasi
Modus pertama yang kerap digunakan adalah kendaraan dengan tangki modifikasi. Kendaraan ini membeli solar bersubsidi di SPBU dengan dalih konsumen biasa. Padahal, kapasitas tangki mereka jauh di atas standar, memungkinkan penampungan dalam jumlah besar. Dengan cara ini, solar yang seharusnya dinikmati masyarakat miskin malah beralih ke jalur ilegal.
2. Kerja Sama dengan SPBU
Dugaan keterlibatan sebagian SPBU juga menjadi catatan hitam. Transaksi besar dibiarkan terjadi tanpa pemeriksaan dokumen atau kuota. Hal ini jelas bertentangan dengan aturan distribusi energi yang mewajibkan pembelian solar subsidi disertai bukti sah, misalnya surat rekomendasi. Jika benar ada pembiaran, maka praktik ini bukan lagi pelanggaran teknis, melainkan indikasi kongkalikong antara pelaku mafia dan pengelola SPBU.
3. Pemindahan Ilegal dari Truk Tangki
Lebih jauh lagi, terdapat pola pengalihan solar langsung dari truk tangki. Solar subsidi yang seharusnya menuju SPBU Nelayan atau SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan) malah dialihkan ke gudang penimbunan. Dari gudang inilah solar dijual ke industri dengan harga non-subsidi. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap sistem distribusi resmi negara.
4. Pengepulan Terang-Terangan
Yang lebih mencengangkan, di sejumlah titik, pengepulan solar subsidi dilakukan secara terbuka tanpa tindakan hukum. Aktivitas ilegal ini bahkan disebut-sebut “tak tersentuh” oleh aparat. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah hukum memang tidak berdaya, atau justru ada oknum yang menikmati keuntungan dari pembiaran tersebut.
Perspektif Kode Etik Jurnalistik
Sebagai media, penting menegaskan bahwa pemberitaan mengenai dugaan praktik mafia solar subsidi harus tetap mengacu pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ), khususnya:
* Pasal 1: Wartawan bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
→ Artikel ini menekankan fakta modus operandi tanpa menuding pihak tertentu secara langsung.
* Pasal 3: Wartawan selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi.
→ Tulisan ini dibingkai sebagai opini berbasis fenomena umum, bukan tuduhan personal.
* Pasal 4: Wartawan tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
→ Isi artikel menekankan analisis sistemik, bukan fitnah kepada individu.
* Pasal 8: Wartawan tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi.
→ Penekanan ada pada praktik mafia energi, bukan pada kota, suku, atau kelompok tertentu.
Pasal Pelanggaran oleh Pihak yang Terlibat
Jika mengacu pada praktik yang dijabarkan, mafia solar subsidi berpotensi melanggar beberapa regulasi:
* UU Migas No. 22 Tahun 2001: Setiap pengalihan BBM bersubsidi di luar peruntukan dapat dikenai sanksi pidana dan denda.
* UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999: Menjual barang bersubsidi dengan harga non-subsidi dapat dikategorikan sebagai perbuatan merugikan konsumen dan negara.
* UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi): Jika terbukti ada keterlibatan aparat atau pejabat dalam praktik pembiaran, maka bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi karena memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Negara Harus Hadir
Fenomena ini bukan sekadar kejahatan ekonomi, melainkan bentuk sabotase terhadap kebijakan energi nasional. Ketika mafia solar subsidi bisa beroperasi terang-terangan, publik bertanya, di mana letak pengawasan. Di mana komitmen penegakan hukum.
Subsidi bukanlah hadiah, melainkan hak rakyat. Karena itu, negara tidak boleh bungkam. Penindakan tegas, audit distribusi energi, serta transparansi pengawasan harus segera dilakukan. Jika tidak, mafia akan terus merajalela, dan rakyat kecil lagi-lagi menjadi korban paling menderita.