Warta1.id – Pemikiran Ibnu Sina, filsuf sekaligus ilmuwan besar dari dunia Islam abad ke-10, kembali mendapat sorotan. Salah satu gagasan terkenalnya adalah eksperimen pemikiran yang kini dikenal sebagai flying man experiment atau “manusia terbang”.
Dalam eksperimen itu, Ibnu Sina mengajak pembaca membayangkan seseorang yang diciptakan melayang di udara, tanpa tubuh, tanpa indra, dan tanpa pengalaman apa pun. Pertanyaan kuncinya: apakah manusia tetap memiliki kesadaran akan dirinya sendiri?
Ibnu Sina menjawab, ya. Kesadaran diri tetap ada, bahkan tanpa tubuh. Hal ini menjadi dasar pemikirannya bahwa jiwa terpisah dari jasad dan memiliki keberadaan yang mandiri.
Ibnu Sina juga menyinggung hubungan erat antara jiwa dan tubuh. Menurutnya, pikiran dapat memengaruhi kesehatan fisik. Ia menuliskan bahwa orang sakit dapat sembuh dengan kekuatan niat, dan sebaliknya, orang sehat bisa jatuh sakit karena pikiran yang terganggu.
Pemikiran ini kini sering disamakan dengan konsep psikosomatis dalam psikologi modern, yakni kondisi ketika aspek mental berdampak langsung pada kondisi fisik seseorang.
Dalam karyanya, Ibnu Sina memperkenalkan konsep wahm atau daya estimasi. Wahm disebut mampu menciptakan keyakinan, ketakutan, atau harapan, bahkan jika tidak sesuai dengan kenyataan. Contohnya, merasa takut sebelum sesuatu terjadi, merasa dicintai meski hanya imajinasi, atau yakin gagal sebelum mencoba.
Bagi Ibnu Sina, wahm memiliki kekuatan besar dalam membentuk realitas batin manusia, yang kemudian dapat memengaruhi tubuh.
Sejumlah sejarawan mencatat, gagasan Ibnu Sina tentang kesadaran diri dan jiwa memberi pengaruh besar pada filsafat Barat. Pemikir modern seperti René Descartes dengan “cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada) kerap disebut memiliki kemiripan dengan eksperimen “manusia terbang” Ibnu Sina.
Selain itu, Ibnu Sina menegaskan empat hal pokok: jiwa tidak binasa, jiwa tidak bergantung pada tubuh, jiwa memiliki kekuatan yang sering tak disadari, dan hubungan jiwa–tubuh bersifat timbal balik.
Ibnu Sina juga menyoroti kontinuitas identitas manusia. Tubuh manusia berganti sel setiap beberapa tahun, tetapi individu tetap merasa dirinya sama sejak kecil. Hal ini, menurutnya, merupakan bukti bahwa identitas diri berada pada jiwa, bukan tubuh.
Ia membedakan tiga jenis jiwa:
1. Jiwa tumbuhan – yang berfungsi untuk tumbuh.
2. Jiwa binatang – yang memungkinkan bergerak dan merasakan.
3. Jiwa manusia – yang dapat berpikir serta menggunakan wahm.
Kemampuan inilah yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain.
Pemikiran Ibnu Sina tentang hubungan jiwa dan tubuh telah berusia lebih dari 1.000 tahun, tetapi masih dianggap relevan. Banyak peneliti modern melihat pandangan itu sebagai fondasi awal dalam memahami psikologi, kesadaran, dan kesehatan mental.
Warisan intelektual Ibnu Sina menunjukkan bahwa pertanyaan besar tentang jiwa, tubuh, dan kesadaran telah lama diperdebatkan, dan hingga kini masih menjadi bahan kajian para filsuf, ilmuwan, maupun psikolog.