Warta1.id – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal masih terus berlanjut di awal 2025, melanjutkan tren buruk yang terjadi sepanjang tahun sebelumnya. Sejumlah pabrik besar di sektor tekstil, elektronik, dan alas kaki terpaksa menghentikan operasionalnya, menyebabkan puluhan ribu pekerja kehilangan mata pencaharian.
Salah satu dampak terbesar dari krisis industri manufaktur ini dialami oleh PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dan tiga anak usahanya: PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya. Setelah dinyatakan pailit dan kalah dalam kasasi, Sritex Group resmi bangkrut dan harus menyerahkan seluruh asetnya kepada tim kurator.
Akibat kebangkrutan ini, sebanyak 10.669 buruh terkena PHK, berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah. Rinciannya:
PT Bitratex Semarang: 1.065 buruh terkena PHK pada Januari 2025.
PT Sritex Sukoharjo: 8.504 buruh di-PHK pada 26 Februari 2025.
PT Primayuda Boyolali: 956 buruh di-PHK pada 26 Februari 2025.
PT Sinar Panja Jaya Semarang: 40 buruh di-PHK pada 26 Februari 2025.
PT Bitratex Semarang: 104 buruh di-PHK pada 26 Februari 2025.
Industri elektronik juga tidak luput dari gelombang penutupan pabrik. PT Sanken Indonesia, yang telah berdiri sejak 1997 di kawasan industri MM2100, Bekasi, akan menutup operasionalnya pada Juni 2025. Pabrik ini memproduksi switch mode power supply dan transformator untuk sektor otomotif dan elektronik dengan kapasitas produksi mencapai jutaan unit per tahun.
Terdapat dua faktor utama yang menyebabkan pabrik ini tutup:
Tidak ada dukungan teknologi dan desain dari induk perusahaan di Jepang setelah divisi terkait dijual.
Tidak mampu bersaing dengan produk baru yang lebih inovatif.
Akibatnya, 459 buruh PT Sanken Indonesia terkena PHK setelah perusahaan menggelontorkan investasi sebesar Rp49 miliar sejak awal berdiri.
Industri alat musik juga mengalami pukulan berat. Dua pabrik Yamaha, yakni PT Yamaha Music Product Asia di Bekasi dan PT Yamaha Indonesia di Pulo Gadung, Jakarta, akan menghentikan produksinya tahun ini.
Menurut Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Riden Hatam Aziz, penutupan dilakukan akibat penurunan permintaan pasar, sehingga produksi akan dialihkan ke China dan Jepang.
PT Yamaha Music Product Asia (Bekasi), yang mempekerjakan 400 orang, akan tutup pada akhir Maret 2025.
PT Yamaha Indonesia (Pulo Gadung, Jakarta), yang memiliki 700 karyawan, akan berhenti beroperasi pada akhir Desember 2025.
Dua pabrik sepatu yang memasok produk ke merek internasional juga melakukan PHK besar-besaran. Kedua pabrik tersebut berada di Kabupaten Tangerang, Banten:
PT Adis Dimension Footwear: PHK terhadap 1.500 pekerja.
PT Victory Ching Luh Indonesia: PHK terhadap 2.000 pekerja.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO), Yoseph Billie Dosiwoda, membenarkan informasi ini. Menurutnya, PHK terjadi karena ketidakpastian order dan biaya produksi yang semakin tinggi.
“Perusahaan-perusahaan ini sudah berusaha menstabilkan kondisi, tetapi akhirnya PHK tidak bisa dihindari. Namun, mereka tetap memberikan kompensasi sesuai aturan,” kata Billie.
PHK di sektor alas kaki ini telah terjadi secara bertahap sejak November 2024 dan diperkirakan masih akan berlanjut.
Pabrik PT Danbi International di Garut, Jawa Barat, yang memproduksi bulu mata palsu untuk ekspor, tiba-tiba menghentikan operasionalnya sejak 19 Februari 2025.
Mediator Hubungan Industrial Disnakertrans Kabupaten Garut, Asep Yudi Tahajudin, menjelaskan bahwa pabrik ini ditutup setelah kurator menyegel asetnya akibat proses pailit.
“Perusahaan ini sudah kesulitan bertahan di tengah persaingan global. Produk mereka kalah bersaing dengan buatan China. Akibatnya, stok menumpuk dan tidak bisa dijual,” jelas Asep.
Sebanyak 2.079 pekerja kini masih menunggu kejelasan terkait pesangon dan hak-haknya pasca penutupan.
Gelombang PHK massal ini menjadi pukulan berat bagi industri manufaktur Indonesia. Berbagai faktor, seperti daya saing yang melemah, permintaan pasar yang turun, dan tekanan dari produk luar negeri, membuat banyak perusahaan tak mampu bertahan.
Dengan semakin banyaknya pabrik yang gulung tikar, pemerintah dan pemangku kepentingan diharapkan segera mencari solusi untuk menyelamatkan industri manufaktur dan mengurangi dampak sosial akibat lonjakan pengangguran.