Warta1.id – Pertanyaan besar kembali menyeruak, di mana pengawasan negara dalam mengatur distribusi energi bersubsidi. Jika praktik mafia migas bisa berjalan bertahun-tahun tanpa terdeteksi, maka sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan sebuah kegagalan sistemik.
Subsidi energi, termasuk LPG 3 kilogram, bukanlah hadiah. Itu adalah hak rakyat kecil yang dibiayai oleh pajak rakyat sendiri. Ketika hak itu dirampas oleh oknum tak bertanggung jawab, negara seharusnya tidak bungkam. Negara wajib hadir, melakukan pengawasan ketat, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Fenomena penyalahgunaan distribusi LPG bersubsidi bukan cerita baru. Dari praktik pengoplosan tabung hingga penimbunan dalam skala besar, semuanya menunjukkan bahwa ada “gurita” mafia yang beroperasi rapi dan sistematis.
Masalahnya, aparat hukum kerap berhenti pada level bawah: pengecer, sopir, atau oknum pengoplos kecil. Padahal, jalur distribusi resmi jelas memiliki pengawasan berlapis mulai dari agen, pangkalan, hingga korporasi besar. Jika pengawasan ini bocor, berarti ada pihak yang sengaja menutup mata atau justru ikut bermain.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dengan tegas mengatur tata kelola migas, termasuk distribusi bahan bakar bersubsidi. Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG Tabung 3 Kg menegaskan bahwa LPG subsidi hanya untuk rumah tangga miskin dan usaha mikro.
Ketika penyalahgunaan terjadi, maka pelakunya jelas melanggar hukum. Bahkan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan penimbunan atau pengoplosan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ekonomi. Ancaman pidana penjara dan denda besar menanti mereka yang terbukti bersalah.
Artinya, penegakan hukum tidak boleh berhenti di permukaan. Negara berkewajiban menelusuri seluruh rantai distribusi, mengaudit kinerja agen resmi, dan menindak tegas jika ditemukan keterlibatan korporasi atau pejabat.
Beberapa regulasi yang dapat menjerat pihak terlibat antara lain:
* UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas
Pasal 53 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan penyalahgunaan pengangkutan dan/atau niaga tanpa izin dapat dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi Rp60 miliar.
* Perpres No. 104 Tahun 2007
Mengatur distribusi LPG 3 Kg hanya untuk kelompok masyarakat tertentu. Jika digunakan di luar peruntukan, jelas merupakan pelanggaran hukum.
* KUHP Pasal 383 & 386
Mengatur tentang tindak pidana kecurangan, termasuk praktik manipulasi distribusi atau pemalsuan isi tabung (pengoplosan).
Dengan kerangka hukum yang begitu jelas, tidak ada alasan bagi aparat untuk hanya menindak pelaku kecil dan membiarkan aktor besar melenggang bebas.
Subsidi energi dibiayai dari APBN yang bersumber dari pajak rakyat. Jika dana ini dikorupsi melalui praktik mafia migas, maka sejatinya rakyat sedang dirampok oleh segelintir orang yang tamak.
Sudah saatnya negara bangkit, bukan bungkam. Penindakan hukum harus menyentuh seluruh level: dari pengecer hingga korporat. Audit distribusi LPG harus dilakukan menyeluruh. Agen dan pangkalan yang terbukti menyeleweng wajib dicabut izinnya. Oknum pejabat yang ikut bermain wajib diseret ke meja hijau.
Tidak ada kompromi dalam urusan hajat hidup orang banyak. Negara tidak boleh kalah oleh mafia.