Warta1.id – Apa yang terjadi di Semarang bukan sekadar demonstrasi. Ia adalah tamparan keras bagi para elit politik yang selama ini sibuk berdebat di gedung DPR sambil menambah tunjangan, sementara rakyat mereka biarkan bergulat dengan harga beras, BBM, dan ongkos hidup yang makin mencekik.
Mari jujur: siapa sebenarnya yang dilayani negara ini? Rakyat kecil yang antre minyak goreng hingga berjam-jam, atau para pejabat yang setiap bulan menerima gaji, fasilitas, dan tunjangan gila-gilaan? Apakah demokrasi ini masih tentang kedaulatan rakyat, atau hanya tentang pesta elite yang dibungkus kata “wakil rakyat”?
Kemarahan di jalan-jalan Semarang adalah konsekuensi logis dari pengkhianatan politik yang sudah terlalu lama. Janji-janji kampanye tentang kesejahteraan hanya jadi bahan retorika yang menguap di udara. Sementara di Senayan, gedung yang megah itu, para politisi lebih sibuk memikirkan proyek, koalisi, dan kursi kekuasaan ketimbang nasib rakyat yang memilih mereka.
Ketika rakyat meminta keadilan, mereka disuguhi gas air mata. Ketika rakyat meminta harga pangan stabil, mereka diberi dalih “gejolak global”. Tapi ketika para pejabat minta kenaikan tunjangan, persetujuan bisa keluar secepat kilat. Inilah demokrasi ala elit politik: keadilan untuk segelintir, kesengsaraan untuk mayoritas.
Semarang kini berdiri sebagai panggung peringatan. Bahwa rakyat bukanlah pion yang bisa dimainkan, bukanlah massa yang bisa dipukul mundur, apalagi suara yang bisa dibungkam. Poster-poster yang mereka bawa jauh lebih jujur daripada pidato pejabat di podium mana pun.
Dan jangan salah: rakyat yang marah tidak lagi percaya pada “jalan formal”. Mereka tahu DPR hanya ruang sandiwara, pemerintah hanya mesin janji, dan aparat hanya tameng kekuasaan. Maka jalanan menjadi satu-satunya ruang yang tersisa. Dan ruang itu, sekali terbuka, bisa menjadi tsunami politik.
Para politisi sebaiknya belajar sejarah: Reformasi 1998 lahir bukan dari ruang rapat DPR, tapi dari teriakan mahasiswa di jalan. Revolusi Mesir 2011 bukan dipicu oleh pidato presiden, tapi oleh rakyat yang menolak diam. Dan kini, Semarang menunjukkan gejala yang sama.
Jika elit politik masih menutup telinga, maka yang akan mereka dengar bukan lagi tuntutan, tapi gelombang yang mengguncang kursi kekuasaan. Karena sejarah selalu berpihak pada yang berani melawan, bukan pada yang sibuk mempertahankan privilese.
Pada akhirnya, pertanyaan itu sederhana: apakah negara ini masih milik rakyat, atau sudah sepenuhnya dirampas oleh elit politik?
Jika jawabannya adalah yang kedua, maka jangan heran bila rakyat akan mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milik mereka: kedaulatan.